Selasa, 09 Juni 2009

UN Pengganti, Legitimasi Kecurangan?

Tags

Oleh : Anep Paoji

Akhirnya Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo memutuskan diadakan Ujian Nasional (UN) pengganti yang dilaksanakan mulai Rabu, 10 Juni 2009. Keputusan tersebut setelah pihak Departemen Pendidikan RI dan Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) menggelar rapat kerja (raker) bersama Komisi X DPR dengan menyampaikan argumen, bahwa UN pengganti semata-mata menyelamatkan (melindungi) 5000 siswa yang dianggap jujur namun tak lulus karena korban pelanggaran atas prosedur pelaksanaan standar (POS) UN serta korban kecurangan sistematis. (PR, Selasa 9/6).
UN pengganti yang sebelumnya diberi nama UN ulang sempat menjadi perdebatan. Pengumuman ke beberapa sekolah pun dibatalkan. Pasalnya tidak ada payung hukum yang mengatur UN ulang. Kalangan DPR menyarankan, agar siswa yang tidak lulus di 36 sekolah di 13 kabupaten/kota di Indonesia itu mengikuti UN di paket C untuk SMA dan paket B untuk SMP.

Inkonsistensi
Keputusan penyelenggaraan UN pengganti di sisi lain melegakan siswa yang tidak lulus. Setidaknya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi masih ada harapan. Namun menjadi pertanyaan, apakah siswa yang tidak lulus itu semata-mata karena mengisikan kunci jawaban berdasarkan bocoran dan tidak mengisi pertanyaan berdasarkan kemampuan sendiri? Kalau jawabannya mengisi lembar jawaban mengikuti bocoran, logika penyelematan siswa yang jujur kurang pas. Karena mereka bukan semata-mata korban kecurangan sistematis melainkan turut menjadi rangkaian pelaku ketidakjujuran.
Di sisi lain, UN pengganti dinilai bentuk ketidakkonsistenan pemerintah. Padahal pemerintah selalu beralasan, angka kelulusan UN yang setiap tahun bertambah semata-mata meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional. Lantas, seandainya siswa di 18 SMP dan 18 SMA tidak lulus 100 persen itu hasil sebuah kejujuran, berarti ketidaklulusannya karena ketidakmampuan sendiri meski siswa bersangkutan berada di sekolah favorit. Jangan-jangan kualitas siswa favorit pun benar-benar di bawah standar angka lulus UN.
Logika menyelematkan siswa jujur juga seolah-olah mempertegas pernyataan, bahwa pemerintah mengakui ada kecurangan di sana-sini dalam penyelenggaraan UN baik dilakukan siswa maupun guru serta pihak terkait yang sebelumnya dianggap angin lewat. Padahal selama ini, jika ada tuduhan kecurangan UN, cepat-cepat dibantah dengan argumen yang begitu meyakinkan.
Maka harus diakui dengan percaya diri, penentuan kelulusan hanya dengan angka perolehan UN hanya menimbulkan ketidakjujuran massal secara sistematis dan bukan menghasilkan output pendidikan berkualitas.
Selain itu, dengan memaksakan UN pengganti, pemerintah terkesan malu bila siswa yang tidak lulus melanjutkan UN di sekolah paket. Selama ini lulusan paket dikampanyekan setara dengan lulusan sekolah pada umumnya, tidak ada perlakuan diskriminasi antara keduanya. Namun mengapa pemerintah –menteri pendidikan— menolak siswa yang tidak lulus ujian nasional itu UN di sekolah paket bila kualitasnya sama? Apakah sikap begitu menunjukkan pengakuan pemerintah, sekolah paket adalah sekolah nomor dua?
Dari sini dapat dipahami, mengapa informasi ketidaklulusan diungkap ke publik sebelum waktu pengumuman UN dibuka. Sehingga dapat dicari jalan untuk berkelit termasuk menyelenggarakan UN pengganti mumpung ada waktu.

Penyelamatan Reputasi
Dalam kasus ini, dunia pendidikan dan pemerintah seperti kebakaran jenggot. Apalagi berbagai bukti menunjukkan –yang beberapa kasusnya sedang ditangani kepolisian—kecurangan itu dilakukan secara massal. Artinya, beberapa sekolah hanya mengejar target angka tanpa memikirkan esensi ujian bahkan rela menanggalkan hati nuraninya. Lantas untuk apa pengamanan distribusi soal berlapis, suasana ujian yang hening bahkan mencekam atau sikap pengawas yang seolah-olah detail memelototi setiap gerak peserta UN?
Di sinilah, yang menjadi ancaman terhadap gagalnya UN bahkan gagalnya pencapaian pendidikan berkualitas di tanah air, sedikit banyak konstribusi penyelenggara di intern dunia pendidikan itu sendiri. Bahkan tak dapat disalahkan bila masyarakat meragukan, pendidikan di sekolah tidak akan mampu menjadikan manusia yang berakhlaqul karimah, jujur serta berilmu pengetahuan bila dalam pelulusan saja diawali dari kecurangan.
Semetara pesan tersirat dari penyelenggaraan UN pengganti, departemen pendidikan ingin menyelematkan muka bopeng dunia pendidikan. Sebab dalam kasus tidak lulus 5000 siswa itu, yang merasakan malu bukan saja siswa, namun penyelenggara pendidikan secara umum mulai tingkat teknis hingga pejabat tertinggi. Padahal anggaran pendidikan yang notabene uang rakyat sudah digelontorkan lebih besar dari tahun sebelumnya.
Kini ujian UN pengganti sedang berjalan. Apapun hasilnya tinggal menunggu. Namun yang pasti, pengawasan yang sejujurnya perlu ditekankan kembali. Jangan sampai bila hasil UN pengganti siswa tetap gagal, tidak mencapai angka minimal lulus, muncul lagi kebijakan “diselenggarakan UN pengganti pengganti”. Semoga tidak!

Penulis, pengurus Mejelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Orda Tasikmalaya.