Jumat, 05 September 2014

Ide Bisnis, Sukses Jasa Pengiriman Model JNE

Tags



EKONOMI KREATIF - Siapa yang tak kenal dengan JNE. Perusahaan jasa pengiriman ini terkenal cepat dan kini merupakan salah satu perusahaan besar dalam jasa  ekspedisi, baik lokal, regional bahkan internasional.
Setiap tahun, perusahana ini mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Tahun 2014, manajemen JNE mantergat  perolahan pendapatan sebesar Rp2.5 triliun, sedangkan  tahun 2013 memperoleh pendapat Rp1.7 triliun.
"Dalam 4 tahun terakhir pertumbuhan kita rata-rata 40%. Tahun ini pun kita juga targetkan persentase yang sama," kata Managing Director JNE, Johari Zein, ketika ditemui di sela acara Gathering Nasional Kaskus Entrepreneur Club yang digelar di Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka, Minggu (25/5) seperti dikutif Tirbun-Jabar.
Untuk merealisasikan target tersebut, JNE akan menambah 5000 agen di tahun ini. JNE juga mulai membidik pasar logistik untuk pengembangan usaha. Selama ini JNE masih fokus pada pasar domestik atau dalam negeri. Hal itu karena market domestik juga memberi konstribusi signifikan terhadap pertumbuhan JNE yang mencapai mencapai 90%.
"Konsentrasi kita masih di pasar domestik, lebih pada bagaimana jadi tuan di rumah sendiri dengan berfokus pada kualitas. Kita inginkan kualitas di perusahaan Indonesia, khususnya di industri jasa pengiriman tidak kalah dengan perusahaan luar sehingga nanti kalau ada keterbukaan pasar di Asia nantinya perusahaan yang mengirimkan barang di Indonesia akan mengalami layanan pengiriman yang persis atau bahkan lebih baik daripada di negaranya," ujarnya.
Menurut laman Wikipedia, JNE merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang pengiriman dan logistik yang bermarkas di Jakarta, Indonesia. Nama resminya adalah Tiki Jalur Nugraha Ekakurir dan menjadi salah satu perusahaan kurir terbesar di Indonesia.
PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir didirikan pada tanggal 26 November 1990 oleh Soeprapto Suparno, dirintis sebagai sebuah divisi dari PT Citra van Titipan Kilat (TiKi) yang bergerak dalam bidang jasa kurir internasional.
Dengan delapan orang dan kapital 100 juta rupiah JNE memulai kegiatan usahanya terpusat pada penanganan kegiatan kepabeanan, impor kiriman barang, dokumen serta pengantaranya dari luar negeri ke Indonesia.
Pada tahun 1991, JNE memperluas jaringan internasional dengan bergabung sebagai anggota asosiasi perusahaan-perusahaan kurir beberapa negara Asia (ACCA) yang bermakas di Hong Kong yang kemudian memberi kesempatan kepada JNE untuk mengembangkan wilayah antaran sampai ke seluruh dunia.
Karena persaingannya di pasar domestik, JNE juga memusatkan memperluas jaringan domestik. Dengan jaringan domestiknya TiKi dan namanya, JNE mendapat keuntungan persaingan dalam pasar domestik. JNE juga memperluas pelayanannya dengan logistik dan distribusi.
Akhirnya TiKi dan JNE berkembang dan menjadi dua perusahaan memiliki arah sendiri-sendiri sehingga kemudian perusahaan berdiri sendiri dengan manajemen tersendiri. (berbabagi sumber)

Bedanya jurnalis dulu dan sekarang

Tags



Dalam obrolan ringat di kantor Persatuan Wartawan Indonesia Tasikmalaya, saya sempat ngobrol ngalor ngidul dengan wartawan senior. Ia mulai karir di dunia jurnalistik, tahun 1978 yang berarti usia saya saat itu masih dua tahun. Cecep SA, nama sang juranlis ini. Ia menjadi wartawan Pikiran Rakyat (PR) sejak 28 tahun yang lalu. Ia sudah beberapa kali ganti teknologi sebagai penunjang kegiatan jurnalistik. Zaman itu beluma ada laptop atau komputer apalagi i-pad dengan tuc screen segala. Mengetik berita di mesin tik, sungguh bising dan mengeluarkan tenaga. Suaranya bisa membangunkan anak bayi yang sedang tidur siang.
Cecep SA, mengalami mesin tik hingga tahun 1995 an. Ngetik di mesin jadul itu selalu rangkap. Untuk redaksi dan untuk arsip pribadi. Celakanya, kalau ada kalimat atau huruf yang salah, kata-kata atau kalimat bisa dijungkir balik. Paragraf di atas ke bawah begitupun sebaliknya. Kalau di komputer tinggal edit dan tidak akan terlihat coretan-coretan. Perjuangan menjadi naskah hingga terbit di koran belum terhenti disitu. Naskah langsung dikemas dalam amplop khusus kemudian menunggu travel sebagai alat ekspedisi menyampaikan ke meja redaksi. Aktualita berita saat itu -- waktu itu Cecep SA dari Tasikmalaya mengirim ke Bandung--  pada hari lusa.
Demikian juga membuat foto. Waktu itu masih menggunakan kamera polaroid menggunakan rol film. Setiap hari datang ke tempat cetak foto dan mengambil satu atau dua bagian hasil jepretan. Setelah dicetak, baru dikirim ke redaksi dengan cara pengriman yang sama dengan naskah berita.
 Berikutnya,cara pengiriman semakin modern, yakni menggunakan mesin faxsimile meski ngetik masih menggunakan mesin tik. Jangan bayangkan mesin fax seperti saat ini. Ukurannya sebesar meja kantor dan ngirim sartu naskah, kurang lebih memekan satu jam. Proses seperti ini berlangsung hingga tahun 1996. Berikutnya mengirim lewat email, seperti yang dilakukan para jurnalis saat ini.
Hal yang menarik saat hunting berita kata Cecep. Jarang sekali mewawancarai narasumber melalui telpon. Waktu itu telpon rumah atau kantor masih jarang. Jangan bayangkan ada handphone yang siempunya bisa dikontak meski sedang  di tengah hutan. Narasumber jauhpun disusul dan bertatap muka.
Terang Cecep, ada pola sikap yang berbeda jurnalis saat itu dengan sekarang. Dulu katanya, antara wartawan tak jrang saling sembunyikan berita. Bila seseorang punya berita, sebisa mungkin teman-temannya tidak tahu. Kalau sekarang kata lain lagi. Antara wartawan yang satu dengan wartawan yang lain, saling tukar berita. Itu mungkin, terkait dengan kemudahan cara memperoleh berita. Dengan teknologi informasi, berita begitu mudah menyebar, sehinga ekslusifisme berita nyaris jarang terjadi.
Sangat beruntung katanya menjadi juranlis zaman sekarang. Dengan teknologi canggih, kemudahan kerja jusnalistik sangat terbantu. Mulai proses wawancara misalnya. Cukup dengan rekaman handhone kecil atau alat rekam yang sangat canggih juga kamera  digital yang memungkinkan  karya jurnalistik semakin lebih menarik.
Tetapi ada yang berbeda sikap pemerintah saat itu dengan sekarang. Orde Baru saat itu masih kuat dan kebebesan pers relatif terkekang. Berita kritik sekecil apapun, selalau ditanggapi pemerintah daerah. Responnya sangat terlihat. Kalau sekarang, berita satu halaman saja respon pemerintah tidak terlihat. Mungkin suasana kebebasan suddh menambah imunitas pemerintah terhadap kiritik hingga dosis kritik harus semakin ditingkatkan.
Satu pesan dari jurnalis senior ini? Menjadi jurnalis harus dibarengi dengan panggilan atas kepedulian terhadap nasib rakyat. Kerja jurnalis tidak sekedar bekerja dan mendapatkan uang.