Jumat, 05 September 2014

Ide Bisnis, Sukses Jasa Pengiriman Model JNE




EKONOMI KREATIF - Siapa yang tak kenal dengan JNE. Perusahaan jasa pengiriman ini terkenal cepat dan kini merupakan salah satu perusahaan besar dalam jasa  ekspedisi, baik lokal, regional bahkan internasional.
Setiap tahun, perusahana ini mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Tahun 2014, manajemen JNE mantergat  perolahan pendapatan sebesar Rp2.5 triliun, sedangkan  tahun 2013 memperoleh pendapat Rp1.7 triliun.
"Dalam 4 tahun terakhir pertumbuhan kita rata-rata 40%. Tahun ini pun kita juga targetkan persentase yang sama," kata Managing Director JNE, Johari Zein, ketika ditemui di sela acara Gathering Nasional Kaskus Entrepreneur Club yang digelar di Saung Angklung Udjo, Jalan Padasuka, Minggu (25/5) seperti dikutif Tirbun-Jabar.
Untuk merealisasikan target tersebut, JNE akan menambah 5000 agen di tahun ini. JNE juga mulai membidik pasar logistik untuk pengembangan usaha. Selama ini JNE masih fokus pada pasar domestik atau dalam negeri. Hal itu karena market domestik juga memberi konstribusi signifikan terhadap pertumbuhan JNE yang mencapai mencapai 90%.
"Konsentrasi kita masih di pasar domestik, lebih pada bagaimana jadi tuan di rumah sendiri dengan berfokus pada kualitas. Kita inginkan kualitas di perusahaan Indonesia, khususnya di industri jasa pengiriman tidak kalah dengan perusahaan luar sehingga nanti kalau ada keterbukaan pasar di Asia nantinya perusahaan yang mengirimkan barang di Indonesia akan mengalami layanan pengiriman yang persis atau bahkan lebih baik daripada di negaranya," ujarnya.
Menurut laman Wikipedia, JNE merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang pengiriman dan logistik yang bermarkas di Jakarta, Indonesia. Nama resminya adalah Tiki Jalur Nugraha Ekakurir dan menjadi salah satu perusahaan kurir terbesar di Indonesia.
PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir didirikan pada tanggal 26 November 1990 oleh Soeprapto Suparno, dirintis sebagai sebuah divisi dari PT Citra van Titipan Kilat (TiKi) yang bergerak dalam bidang jasa kurir internasional.
Dengan delapan orang dan kapital 100 juta rupiah JNE memulai kegiatan usahanya terpusat pada penanganan kegiatan kepabeanan, impor kiriman barang, dokumen serta pengantaranya dari luar negeri ke Indonesia.
Pada tahun 1991, JNE memperluas jaringan internasional dengan bergabung sebagai anggota asosiasi perusahaan-perusahaan kurir beberapa negara Asia (ACCA) yang bermakas di Hong Kong yang kemudian memberi kesempatan kepada JNE untuk mengembangkan wilayah antaran sampai ke seluruh dunia.
Karena persaingannya di pasar domestik, JNE juga memusatkan memperluas jaringan domestik. Dengan jaringan domestiknya TiKi dan namanya, JNE mendapat keuntungan persaingan dalam pasar domestik. JNE juga memperluas pelayanannya dengan logistik dan distribusi.
Akhirnya TiKi dan JNE berkembang dan menjadi dua perusahaan memiliki arah sendiri-sendiri sehingga kemudian perusahaan berdiri sendiri dengan manajemen tersendiri. (berbabagi sumber)

Bedanya jurnalis dulu dan sekarang




Dalam obrolan ringat di kantor Persatuan Wartawan Indonesia Tasikmalaya, saya sempat ngobrol ngalor ngidul dengan wartawan senior. Ia mulai karir di dunia jurnalistik, tahun 1978 yang berarti usia saya saat itu masih dua tahun. Cecep SA, nama sang juranlis ini. Ia menjadi wartawan Pikiran Rakyat (PR) sejak 28 tahun yang lalu. Ia sudah beberapa kali ganti teknologi sebagai penunjang kegiatan jurnalistik. Zaman itu beluma ada laptop atau komputer apalagi i-pad dengan tuc screen segala. Mengetik berita di mesin tik, sungguh bising dan mengeluarkan tenaga. Suaranya bisa membangunkan anak bayi yang sedang tidur siang.
Cecep SA, mengalami mesin tik hingga tahun 1995 an. Ngetik di mesin jadul itu selalu rangkap. Untuk redaksi dan untuk arsip pribadi. Celakanya, kalau ada kalimat atau huruf yang salah, kata-kata atau kalimat bisa dijungkir balik. Paragraf di atas ke bawah begitupun sebaliknya. Kalau di komputer tinggal edit dan tidak akan terlihat coretan-coretan. Perjuangan menjadi naskah hingga terbit di koran belum terhenti disitu. Naskah langsung dikemas dalam amplop khusus kemudian menunggu travel sebagai alat ekspedisi menyampaikan ke meja redaksi. Aktualita berita saat itu -- waktu itu Cecep SA dari Tasikmalaya mengirim ke Bandung--  pada hari lusa.
Demikian juga membuat foto. Waktu itu masih menggunakan kamera polaroid menggunakan rol film. Setiap hari datang ke tempat cetak foto dan mengambil satu atau dua bagian hasil jepretan. Setelah dicetak, baru dikirim ke redaksi dengan cara pengriman yang sama dengan naskah berita.
 Berikutnya,cara pengiriman semakin modern, yakni menggunakan mesin faxsimile meski ngetik masih menggunakan mesin tik. Jangan bayangkan mesin fax seperti saat ini. Ukurannya sebesar meja kantor dan ngirim sartu naskah, kurang lebih memekan satu jam. Proses seperti ini berlangsung hingga tahun 1996. Berikutnya mengirim lewat email, seperti yang dilakukan para jurnalis saat ini.
Hal yang menarik saat hunting berita kata Cecep. Jarang sekali mewawancarai narasumber melalui telpon. Waktu itu telpon rumah atau kantor masih jarang. Jangan bayangkan ada handphone yang siempunya bisa dikontak meski sedang  di tengah hutan. Narasumber jauhpun disusul dan bertatap muka.
Terang Cecep, ada pola sikap yang berbeda jurnalis saat itu dengan sekarang. Dulu katanya, antara wartawan tak jrang saling sembunyikan berita. Bila seseorang punya berita, sebisa mungkin teman-temannya tidak tahu. Kalau sekarang kata lain lagi. Antara wartawan yang satu dengan wartawan yang lain, saling tukar berita. Itu mungkin, terkait dengan kemudahan cara memperoleh berita. Dengan teknologi informasi, berita begitu mudah menyebar, sehinga ekslusifisme berita nyaris jarang terjadi.
Sangat beruntung katanya menjadi juranlis zaman sekarang. Dengan teknologi canggih, kemudahan kerja jusnalistik sangat terbantu. Mulai proses wawancara misalnya. Cukup dengan rekaman handhone kecil atau alat rekam yang sangat canggih juga kamera  digital yang memungkinkan  karya jurnalistik semakin lebih menarik.
Tetapi ada yang berbeda sikap pemerintah saat itu dengan sekarang. Orde Baru saat itu masih kuat dan kebebesan pers relatif terkekang. Berita kritik sekecil apapun, selalau ditanggapi pemerintah daerah. Responnya sangat terlihat. Kalau sekarang, berita satu halaman saja respon pemerintah tidak terlihat. Mungkin suasana kebebasan suddh menambah imunitas pemerintah terhadap kiritik hingga dosis kritik harus semakin ditingkatkan.
Satu pesan dari jurnalis senior ini? Menjadi jurnalis harus dibarengi dengan panggilan atas kepedulian terhadap nasib rakyat. Kerja jurnalis tidak sekedar bekerja dan mendapatkan uang.



Selasa, 09 Juni 2009

UN Pengganti, Legitimasi Kecurangan?


Oleh : Anep Paoji

Akhirnya Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo memutuskan diadakan Ujian Nasional (UN) pengganti yang dilaksanakan mulai Rabu, 10 Juni 2009. Keputusan tersebut setelah pihak Departemen Pendidikan RI dan Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) menggelar rapat kerja (raker) bersama Komisi X DPR dengan menyampaikan argumen, bahwa UN pengganti semata-mata menyelamatkan (melindungi) 5000 siswa yang dianggap jujur namun tak lulus karena korban pelanggaran atas prosedur pelaksanaan standar (POS) UN serta korban kecurangan sistematis. (PR, Selasa 9/6).
UN pengganti yang sebelumnya diberi nama UN ulang sempat menjadi perdebatan. Pengumuman ke beberapa sekolah pun dibatalkan. Pasalnya tidak ada payung hukum yang mengatur UN ulang. Kalangan DPR menyarankan, agar siswa yang tidak lulus di 36 sekolah di 13 kabupaten/kota di Indonesia itu mengikuti UN di paket C untuk SMA dan paket B untuk SMP.

Inkonsistensi
Keputusan penyelenggaraan UN pengganti di sisi lain melegakan siswa yang tidak lulus. Setidaknya untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi masih ada harapan. Namun menjadi pertanyaan, apakah siswa yang tidak lulus itu semata-mata karena mengisikan kunci jawaban berdasarkan bocoran dan tidak mengisi pertanyaan berdasarkan kemampuan sendiri? Kalau jawabannya mengisi lembar jawaban mengikuti bocoran, logika penyelematan siswa yang jujur kurang pas. Karena mereka bukan semata-mata korban kecurangan sistematis melainkan turut menjadi rangkaian pelaku ketidakjujuran.
Di sisi lain, UN pengganti dinilai bentuk ketidakkonsistenan pemerintah. Padahal pemerintah selalu beralasan, angka kelulusan UN yang setiap tahun bertambah semata-mata meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional. Lantas, seandainya siswa di 18 SMP dan 18 SMA tidak lulus 100 persen itu hasil sebuah kejujuran, berarti ketidaklulusannya karena ketidakmampuan sendiri meski siswa bersangkutan berada di sekolah favorit. Jangan-jangan kualitas siswa favorit pun benar-benar di bawah standar angka lulus UN.
Logika menyelematkan siswa jujur juga seolah-olah mempertegas pernyataan, bahwa pemerintah mengakui ada kecurangan di sana-sini dalam penyelenggaraan UN baik dilakukan siswa maupun guru serta pihak terkait yang sebelumnya dianggap angin lewat. Padahal selama ini, jika ada tuduhan kecurangan UN, cepat-cepat dibantah dengan argumen yang begitu meyakinkan.
Maka harus diakui dengan percaya diri, penentuan kelulusan hanya dengan angka perolehan UN hanya menimbulkan ketidakjujuran massal secara sistematis dan bukan menghasilkan output pendidikan berkualitas.
Selain itu, dengan memaksakan UN pengganti, pemerintah terkesan malu bila siswa yang tidak lulus melanjutkan UN di sekolah paket. Selama ini lulusan paket dikampanyekan setara dengan lulusan sekolah pada umumnya, tidak ada perlakuan diskriminasi antara keduanya. Namun mengapa pemerintah –menteri pendidikan— menolak siswa yang tidak lulus ujian nasional itu UN di sekolah paket bila kualitasnya sama? Apakah sikap begitu menunjukkan pengakuan pemerintah, sekolah paket adalah sekolah nomor dua?
Dari sini dapat dipahami, mengapa informasi ketidaklulusan diungkap ke publik sebelum waktu pengumuman UN dibuka. Sehingga dapat dicari jalan untuk berkelit termasuk menyelenggarakan UN pengganti mumpung ada waktu.

Penyelamatan Reputasi
Dalam kasus ini, dunia pendidikan dan pemerintah seperti kebakaran jenggot. Apalagi berbagai bukti menunjukkan –yang beberapa kasusnya sedang ditangani kepolisian—kecurangan itu dilakukan secara massal. Artinya, beberapa sekolah hanya mengejar target angka tanpa memikirkan esensi ujian bahkan rela menanggalkan hati nuraninya. Lantas untuk apa pengamanan distribusi soal berlapis, suasana ujian yang hening bahkan mencekam atau sikap pengawas yang seolah-olah detail memelototi setiap gerak peserta UN?
Di sinilah, yang menjadi ancaman terhadap gagalnya UN bahkan gagalnya pencapaian pendidikan berkualitas di tanah air, sedikit banyak konstribusi penyelenggara di intern dunia pendidikan itu sendiri. Bahkan tak dapat disalahkan bila masyarakat meragukan, pendidikan di sekolah tidak akan mampu menjadikan manusia yang berakhlaqul karimah, jujur serta berilmu pengetahuan bila dalam pelulusan saja diawali dari kecurangan.
Semetara pesan tersirat dari penyelenggaraan UN pengganti, departemen pendidikan ingin menyelematkan muka bopeng dunia pendidikan. Sebab dalam kasus tidak lulus 5000 siswa itu, yang merasakan malu bukan saja siswa, namun penyelenggara pendidikan secara umum mulai tingkat teknis hingga pejabat tertinggi. Padahal anggaran pendidikan yang notabene uang rakyat sudah digelontorkan lebih besar dari tahun sebelumnya.
Kini ujian UN pengganti sedang berjalan. Apapun hasilnya tinggal menunggu. Namun yang pasti, pengawasan yang sejujurnya perlu ditekankan kembali. Jangan sampai bila hasil UN pengganti siswa tetap gagal, tidak mencapai angka minimal lulus, muncul lagi kebijakan “diselenggarakan UN pengganti pengganti”. Semoga tidak!

Penulis, pengurus Mejelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Orda Tasikmalaya.

Minggu, 26 April 2009

Hipokrisi Dunia Pendidikan

Oleh: Anep Paoji

Indikasi kebocoran soal Ujian Nasional (UN) selalu menyertai pelaksanaan UN setiap tahun baik setingkat SMP/MTs maupun SMA/MA. Demikian juga dalam pelaksanaan UN SMA/MA yang baru kelar pekan lalu, indikasi kebocoran soal dan kecurangan UN merebak termasuk di Jawa Barat. Seperti yang tersiar di media massa, ditemukan beredar kunci jawaban hampir semua mata pelajaran. Mudah-mudahan penyelenggaraan UN SMP/MTs yang mulai digelar hari ini, (27/04) lancar sesuai yang diharapkan.
Motif Kecurangan
Dari beberapa kasus indikasi kecurangan dalam UN, dapat disimpulkan beberapa motif. Pertama, siswa memperoleh kunci jawaban beberapa saat memasuki ruang ujian, baik melalui SMS atau melalui catatan kecil. Siswa pun diimbau untuk datang lebih pagi ke sekolah untuk memperoleh kunci-kunci itu.
Kedua, ada indikasi, para guru atau yang terdiri dari ”tim sukses UN” di masing-masing sekolah membantu mengisi lembar jawaban komputer (LJK). Waktu pengisian dilakukan beberapa saat setelah siswa pulang, sebelum LJK disampaikan kepada dinas yang harus tiba pukul 12.00. Waktu yang diperlukan cukup luang. Ada sekitar satu hingga dua jam sehingga memungkinkan jika dimanfaatkan untuk pengisian LJK. Informasi seperti itu sudah beredar di antara para tim sukses UN yang kerapkali dibantah oleh para pengelola pendidikan.
Untuk motif kedua, tentu dirasakan lebih ”aman” ketimbang motif pertama yang lebih konvensional. Ini karena siswa tidak akan berceritera kepada siapapun karena dia merasa mengerjakan sendiri tanpa pihak yang membantu. Sedangkan jika siswa diberi kunci jawaban baik melalui SMS atau melalui guntingan kertas, siswa biasanya tak kuasa menahan kegembiraannya untuk berbicara pada orang lain. Memang beredarnya kunci jawaban juga tidak menjamin sebuah kebenaran. Bahkan bisa jadi, kunci-kunci itu palsu dan sengaja ada yang menyebarkan untuk membuat kekacauan. Akan tetapi, ada guru yang iseng mencocokkan kunci jawaban yang beredar, ternyata isinya banyak yang benar.
Untuk motif LJK siswa dikerjakan tim sukses, penulis baru yakin saat menyaksikan laporan khusus di salah satu televisi swasta dengan program ”kupas tuntas”. Salah seorang guru sebuah SMA di Kabupaten Garut mengaku diajak menyukseskan UN meski secara prinsip dia tidak suka dengan praktik begitu. Caranya, tim sukses mengisi LJK siswa setelah seluruh siswa pulang. Teknisnya –masih dalam laporan itu—tim sukses menyediakan plastik transpran yang sudah diberi bulatan sesuai dengan letak jawaban yang dianggap benar. Saat plastik dirapatkan dengan LJK yang telah dikerjakan siswa, kelihatan mana yang benar dan mana yang salah. Kalau tidak sesuai dengan bulatan hitam di plastik, segera diganti karena itu dipastikan salah. Namun para tim sukses juga sangat hati-hati. Mereka tidak sampai membenarkan jawaban seratus persen. Ini untuk menghindari kecurigaan dan pertanyaan, mengapa seluruh siswa menjawab pertanyaan dengan benar?
Mengapa ada praktik demikian? Lepas dari kontroversi pemberlakuan standar angka kelulusan, diakui atau tidak, angka kelulusan UN layaknya hantu yang menakutkan. Ketakutan bukan saja dirasakan siswa dan orang tua siswa, namun oleh pengelola pendidikan, khususnya yang langsung terkait dengan praktik pengajaran di sekolah. ”Apa kata dunia” jika banyak siswa yang tidak lulus dalam mata pelajaran yang di UN kan. Bukan saja guru mata pelajaran yang menanggung malu, namun kepala sekolah, pejabat terkait, dinas terkait bahkan daerah tertentu. Lebih jauh bila sekolah bersangkutan menyandang predikat favorit atau diembel-embeli standar yang secara kualitas harus lebih baik dari pada sekolah yang biasa-biasa saja. Lebih luas pula, rasa malu akan dirasakan dunia pendidikan secara umum. Mengingat anggaran pendidikan yang digelontorkan oleh negara sudah sedemikian besar.
Ketakutan di atas secara langsung atau tidak bisa meneror psikologis para pengelola pendidikan. Sebab kesuksesan kelulusan siswa dalam UN adalah tanggungjawabannya. Namun sangat disesalkan, bila rasa tanggungjawab itu diaplikasikan dengan cara-cara yang kurang bertanggungjawab.
Tentu, semua ini jangan dikatakan sebuah tuduhan. Karena di pihak lain masih banyak sekolah yang jujur dalam pelaksanaan UN dan tidak menggadaikan kejujuran hanya untuk sebuah angka. Ingat, dunia pendidikan juga layaknya dunia lain yang tidak dijamin steril dari praktik kecurangan. Sehingga saat dirasakan ada ancaman, siapapun bisa terjerumus pada tindakan rendah. Pendidik pun bisa melupakan tugas mulianya memanusiakan manusia itu.
Terima Kenyataan
Untuk meminimalkan kecurangan dalam UN, kuncinya harus betul-betul kembali pada aturan serta memaksimalkan pengawasan dari tim yang kini sudah tersedia. Apalagi, mulai distribusi soal hinggga pelaksanaan UN, keterlibatan aparat, pengawas dan tim idependen porsinya lebih luas lagi. Secara kasat mata mekanisme seperti itu akan mempersempit ruang gerak siapapun yang akan berbuat curang. Namun demikian, perangkat-perangkat itu harus betul-betul jeli menangkap kemungkinan di mana kecurangan itu bakal terjadi.
Lebih penting lagi, harus ada itikad lebih serius dari pengelola pendidikan. Mereka harus berani menerima kenyataan bahkan menanggung malu dari apapun yang menimpa siswanya terkait hasil UN. Seburuk apapun nilai UN, harus dimaknai sebagai konsekuwensi upaya meningkatkan standar pendidikan di tanah air tercinta ini. Tanpa keberanian menerima kenyataan, berapapun standar angka kelulusan UN dipatok oleh negara, bukannya menghasilkan kualitas pendidikan lebih baik, namun sebaliknya, semakin amburadul. Sebab, ekses ambisi untuk mendapat nilai yang lebih bagus itu bisa menyeret para pelaku pendidikan di tingkat pelaksana berbuat curang bahkan bertindak munafik (hipokrit). (*)

Penulis, pengurus Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Orda Tasikmalaya.

Hipokrisi Dunia Pendidikan

Oleh: Anep Paoji

Indikasi kebocoran soal Ujian Nasional (UN) selalu menyertai pelaksanaan UN setiap tahun baik setingkat SMP/MTs maupun SMA/MA. Demikian juga dalam pelaksanaan UN SMA/MA yang baru kelar pekan lalu, indikasi kebocoran soal dan kecurangan UN merebak termasuk di Jawa Barat. Seperti yang tersiar di media massa, ditemukan beredar kunci jawaban hampir semua mata pelajaran. Mudah-mudahan penyelenggaraan UN SMP/MTs yang mulai digelar hari ini, (27/04) lancar sesuai yang diharapkan.
Motif Kecurangan
Dari beberapa kasus indikasi kecurangan dalam UN, dapat disimpulkan beberapa motif. Pertama, siswa memperoleh kunci jawaban beberapa saat memasuki ruang ujian, baik melalui SMS atau melalui catatan kecil. Siswa pun diimbau untuk datang lebih pagi ke sekolah untuk memperoleh kunci-kunci itu.
Kedua, ada indikasi, para guru atau yang terdiri dari ”tim sukses UN” di masing-masing sekolah membantu mengisi lembar jawaban komputer (LJK). Waktu pengisian dilakukan beberapa saat setelah siswa pulang, sebelum LJK disampaikan kepada dinas yang harus tiba pukul 12.00. Waktu yang diperlukan cukup luang. Ada sekitar satu hingga dua jam sehingga memungkinkan jika dimanfaatkan untuk pengisian LJK. Informasi seperti itu sudah beredar di antara para tim sukses UN yang kerapkali dibantah oleh para pengelola pendidikan.
Untuk motif kedua, tentu dirasakan lebih ”aman” ketimbang motif pertama yang lebih konvensional. Ini karena siswa tidak akan berceritera kepada siapapun karena dia merasa mengerjakan sendiri tanpa pihak yang membantu. Sedangkan jika siswa diberi kunci jawaban baik melalui SMS atau melalui guntingan kertas, siswa biasanya tak kuasa menahan kegembiraannya untuk berbicara pada orang lain. Memang beredarnya kunci jawaban juga tidak menjamin sebuah kebenaran. Bahkan bisa jadi, kunci-kunci itu palsu dan sengaja ada yang menyebarkan untuk membuat kekacauan. Akan tetapi, ada guru yang iseng mencocokkan kunci jawaban yang beredar, ternyata isinya banyak yang benar.
Untuk motif LJK siswa dikerjakan tim sukses, penulis baru yakin saat menyaksikan laporan khusus di salah satu televisi swasta dengan program ”kupas tuntas”. Salah seorang guru sebuah SMA di Kabupaten Garut mengaku diajak menyukseskan UN meski secara prinsip dia tidak suka dengan praktik begitu. Caranya, tim sukses mengisi LJK siswa setelah seluruh siswa pulang. Teknisnya –masih dalam laporan itu—tim sukses menyediakan plastik transpran yang sudah diberi bulatan sesuai dengan letak jawaban yang dianggap benar. Saat plastik dirapatkan dengan LJK yang telah dikerjakan siswa, kelihatan mana yang benar dan mana yang salah. Kalau tidak sesuai dengan bulatan hitam di plastik, segera diganti karena itu dipastikan salah. Namun para tim sukses juga sangat hati-hati. Mereka tidak sampai membenarkan jawaban seratus persen. Ini untuk menghindari kecurigaan dan pertanyaan, mengapa seluruh siswa menjawab pertanyaan dengan benar?
Mengapa ada praktik demikian? Lepas dari kontroversi pemberlakuan standar angka kelulusan, diakui atau tidak, angka kelulusan UN layaknya hantu yang menakutkan. Ketakutan bukan saja dirasakan siswa dan orang tua siswa, namun oleh pengelola pendidikan, khususnya yang langsung terkait dengan praktik pengajaran di sekolah. ”Apa kata dunia” jika banyak siswa yang tidak lulus dalam mata pelajaran yang di UN kan. Bukan saja guru mata pelajaran yang menanggung malu, namun kepala sekolah, pejabat terkait, dinas terkait bahkan daerah tertentu. Lebih jauh bila sekolah bersangkutan menyandang predikat favorit atau diembel-embeli standar yang secara kualitas harus lebih baik dari pada sekolah yang biasa-biasa saja. Lebih luas pula, rasa malu akan dirasakan dunia pendidikan secara umum. Mengingat anggaran pendidikan yang digelontorkan oleh negara sudah sedemikian besar.
Ketakutan di atas secara langsung atau tidak bisa meneror psikologis para pengelola pendidikan. Sebab kesuksesan kelulusan siswa dalam UN adalah tanggungjawabannya. Namun sangat disesalkan, bila rasa tanggungjawab itu diaplikasikan dengan cara-cara yang kurang bertanggungjawab.
Tentu, semua ini jangan dikatakan sebuah tuduhan. Karena di pihak lain masih banyak sekolah yang jujur dalam pelaksanaan UN dan tidak menggadaikan kejujuran hanya untuk sebuah angka. Ingat, dunia pendidikan juga layaknya dunia lain yang tidak dijamin steril dari praktik kecurangan. Sehingga saat dirasakan ada ancaman, siapapun bisa terjerumus pada tindakan rendah. Pendidik pun bisa melupakan tugas mulianya memanusiakan manusia itu.
Terima Kenyataan
Untuk meminimalkan kecurangan dalam UN, kuncinya harus betul-betul kembali pada aturan serta memaksimalkan pengawasan dari tim yang kini sudah tersedia. Apalagi, mulai distribusi soal hinggga pelaksanaan UN, keterlibatan aparat, pengawas dan tim idependen porsinya lebih luas lagi. Secara kasat mata mekanisme seperti itu akan mempersempit ruang gerak siapapun yang akan berbuat curang. Namun demikian, perangkat-perangkat itu harus betul-betul jeli menangkap kemungkinan di mana kecurangan itu bakal terjadi.
Lebih penting lagi, harus ada itikad lebih serius dari pengelola pendidikan. Mereka harus berani menerima kenyataan bahkan menanggung malu dari apapun yang menimpa siswanya terkait hasil UN. Seburuk apapun nilai UN, harus dimaknai sebagai konsekuwensi upaya meningkatkan standar pendidikan di tanah air tercinta ini. Tanpa keberanian menerima kenyataan, berapapun standar angka kelulusan UN dipatok oleh negara, bukannya menghasilkan kualitas pendidikan lebih baik, namun sebaliknya, semakin amburadul. Sebab, ekses ambisi untuk mendapat nilai yang lebih bagus itu bisa menyeret para pelaku pendidikan di tingkat pelaksana berbuat curang bahkan bertindak munafik (hipokrit). (*)

Penulis, pengurus Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Orda Tasikmalaya.