Jumat, 05 September 2014

Bedanya jurnalis dulu dan sekarang

Tags




Dalam obrolan ringat di kantor Persatuan Wartawan Indonesia Tasikmalaya, saya sempat ngobrol ngalor ngidul dengan wartawan senior. Ia mulai karir di dunia jurnalistik, tahun 1978 yang berarti usia saya saat itu masih dua tahun. Cecep SA, nama sang juranlis ini. Ia menjadi wartawan Pikiran Rakyat (PR) sejak 28 tahun yang lalu. Ia sudah beberapa kali ganti teknologi sebagai penunjang kegiatan jurnalistik. Zaman itu beluma ada laptop atau komputer apalagi i-pad dengan tuc screen segala. Mengetik berita di mesin tik, sungguh bising dan mengeluarkan tenaga. Suaranya bisa membangunkan anak bayi yang sedang tidur siang.
Cecep SA, mengalami mesin tik hingga tahun 1995 an. Ngetik di mesin jadul itu selalu rangkap. Untuk redaksi dan untuk arsip pribadi. Celakanya, kalau ada kalimat atau huruf yang salah, kata-kata atau kalimat bisa dijungkir balik. Paragraf di atas ke bawah begitupun sebaliknya. Kalau di komputer tinggal edit dan tidak akan terlihat coretan-coretan. Perjuangan menjadi naskah hingga terbit di koran belum terhenti disitu. Naskah langsung dikemas dalam amplop khusus kemudian menunggu travel sebagai alat ekspedisi menyampaikan ke meja redaksi. Aktualita berita saat itu -- waktu itu Cecep SA dari Tasikmalaya mengirim ke Bandung--  pada hari lusa.
Demikian juga membuat foto. Waktu itu masih menggunakan kamera polaroid menggunakan rol film. Setiap hari datang ke tempat cetak foto dan mengambil satu atau dua bagian hasil jepretan. Setelah dicetak, baru dikirim ke redaksi dengan cara pengriman yang sama dengan naskah berita.
 Berikutnya,cara pengiriman semakin modern, yakni menggunakan mesin faxsimile meski ngetik masih menggunakan mesin tik. Jangan bayangkan mesin fax seperti saat ini. Ukurannya sebesar meja kantor dan ngirim sartu naskah, kurang lebih memekan satu jam. Proses seperti ini berlangsung hingga tahun 1996. Berikutnya mengirim lewat email, seperti yang dilakukan para jurnalis saat ini.
Hal yang menarik saat hunting berita kata Cecep. Jarang sekali mewawancarai narasumber melalui telpon. Waktu itu telpon rumah atau kantor masih jarang. Jangan bayangkan ada handphone yang siempunya bisa dikontak meski sedang  di tengah hutan. Narasumber jauhpun disusul dan bertatap muka.
Terang Cecep, ada pola sikap yang berbeda jurnalis saat itu dengan sekarang. Dulu katanya, antara wartawan tak jrang saling sembunyikan berita. Bila seseorang punya berita, sebisa mungkin teman-temannya tidak tahu. Kalau sekarang kata lain lagi. Antara wartawan yang satu dengan wartawan yang lain, saling tukar berita. Itu mungkin, terkait dengan kemudahan cara memperoleh berita. Dengan teknologi informasi, berita begitu mudah menyebar, sehinga ekslusifisme berita nyaris jarang terjadi.
Sangat beruntung katanya menjadi juranlis zaman sekarang. Dengan teknologi canggih, kemudahan kerja jusnalistik sangat terbantu. Mulai proses wawancara misalnya. Cukup dengan rekaman handhone kecil atau alat rekam yang sangat canggih juga kamera  digital yang memungkinkan  karya jurnalistik semakin lebih menarik.
Tetapi ada yang berbeda sikap pemerintah saat itu dengan sekarang. Orde Baru saat itu masih kuat dan kebebesan pers relatif terkekang. Berita kritik sekecil apapun, selalau ditanggapi pemerintah daerah. Responnya sangat terlihat. Kalau sekarang, berita satu halaman saja respon pemerintah tidak terlihat. Mungkin suasana kebebasan suddh menambah imunitas pemerintah terhadap kiritik hingga dosis kritik harus semakin ditingkatkan.
Satu pesan dari jurnalis senior ini? Menjadi jurnalis harus dibarengi dengan panggilan atas kepedulian terhadap nasib rakyat. Kerja jurnalis tidak sekedar bekerja dan mendapatkan uang.



Artikel Terkait


EmoticonEmoticon