Dalam obrolan ringat di kantor Persatuan
Wartawan Indonesia Tasikmalaya, saya sempat ngobrol ngalor ngidul dengan
wartawan senior. Ia mulai karir di dunia jurnalistik, tahun 1978 yang berarti
usia saya saat itu masih dua tahun. Cecep SA, nama sang juranlis ini. Ia
menjadi wartawan Pikiran Rakyat (PR) sejak 28 tahun yang lalu. Ia sudah
beberapa kali ganti teknologi sebagai penunjang kegiatan jurnalistik. Zaman itu
beluma ada laptop atau komputer apalagi i-pad dengan tuc screen segala.
Mengetik berita di mesin tik, sungguh bising dan mengeluarkan tenaga. Suaranya
bisa membangunkan anak bayi yang sedang tidur siang.
Cecep SA, mengalami mesin tik
hingga tahun 1995 an. Ngetik di mesin jadul itu selalu rangkap. Untuk redaksi
dan untuk arsip pribadi. Celakanya, kalau ada kalimat atau huruf yang salah,
kata-kata atau kalimat bisa dijungkir balik. Paragraf di atas ke bawah begitupun
sebaliknya. Kalau di komputer tinggal edit dan tidak akan terlihat
coretan-coretan. Perjuangan menjadi naskah hingga terbit di koran belum
terhenti disitu. Naskah langsung dikemas dalam amplop khusus kemudian menunggu
travel sebagai alat ekspedisi menyampaikan ke meja redaksi. Aktualita berita saat
itu -- waktu itu Cecep SA dari Tasikmalaya mengirim ke Bandung-- pada hari lusa.
Demikian juga membuat foto. Waktu
itu masih menggunakan kamera polaroid menggunakan rol film. Setiap hari datang
ke tempat cetak foto dan mengambil satu atau dua bagian hasil jepretan. Setelah
dicetak, baru dikirim ke redaksi dengan cara pengriman yang sama dengan naskah
berita.
Berikutnya,cara pengiriman semakin modern,
yakni menggunakan mesin faxsimile meski ngetik masih menggunakan mesin tik. Jangan
bayangkan mesin fax seperti saat ini. Ukurannya sebesar meja kantor dan ngirim
sartu naskah, kurang lebih memekan satu jam. Proses seperti ini berlangsung hingga
tahun 1996. Berikutnya mengirim lewat email, seperti yang dilakukan para
jurnalis saat ini.
Hal yang menarik saat hunting
berita kata Cecep. Jarang sekali mewawancarai narasumber melalui telpon. Waktu
itu telpon rumah atau kantor masih jarang. Jangan bayangkan ada handphone yang
siempunya bisa dikontak meski sedang di
tengah hutan. Narasumber jauhpun disusul dan bertatap muka.
Terang Cecep, ada pola sikap yang
berbeda jurnalis saat itu dengan sekarang. Dulu katanya, antara wartawan tak
jrang saling sembunyikan berita. Bila seseorang punya berita, sebisa mungkin teman-temannya
tidak tahu. Kalau sekarang kata lain lagi. Antara wartawan yang satu dengan
wartawan yang lain, saling tukar berita. Itu mungkin, terkait dengan kemudahan
cara memperoleh berita. Dengan teknologi informasi, berita begitu mudah
menyebar, sehinga ekslusifisme berita nyaris jarang terjadi.
Sangat beruntung katanya menjadi juranlis
zaman sekarang. Dengan teknologi canggih, kemudahan kerja jusnalistik sangat terbantu.
Mulai proses wawancara misalnya. Cukup dengan rekaman handhone kecil atau alat
rekam yang sangat canggih juga kamera
digital yang memungkinkan karya jurnalistik
semakin lebih menarik.
Tetapi ada yang berbeda sikap
pemerintah saat itu dengan sekarang. Orde Baru saat itu masih kuat dan
kebebesan pers relatif terkekang. Berita kritik sekecil apapun, selalau
ditanggapi pemerintah daerah. Responnya sangat terlihat. Kalau sekarang, berita
satu halaman saja respon pemerintah tidak terlihat. Mungkin suasana kebebasan
suddh menambah imunitas pemerintah terhadap kiritik hingga dosis kritik harus
semakin ditingkatkan.
Satu pesan dari jurnalis senior
ini? Menjadi jurnalis harus dibarengi dengan panggilan atas kepedulian terhadap
nasib rakyat. Kerja jurnalis tidak sekedar bekerja dan mendapatkan uang.
EmoticonEmoticon