Minggu, 26 April 2009

Hipokrisi Dunia Pendidikan

Tags

Oleh: Anep Paoji

Indikasi kebocoran soal Ujian Nasional (UN) selalu menyertai pelaksanaan UN setiap tahun baik setingkat SMP/MTs maupun SMA/MA. Demikian juga dalam pelaksanaan UN SMA/MA yang baru kelar pekan lalu, indikasi kebocoran soal dan kecurangan UN merebak termasuk di Jawa Barat. Seperti yang tersiar di media massa, ditemukan beredar kunci jawaban hampir semua mata pelajaran. Mudah-mudahan penyelenggaraan UN SMP/MTs yang mulai digelar hari ini, (27/04) lancar sesuai yang diharapkan.
Motif Kecurangan
Dari beberapa kasus indikasi kecurangan dalam UN, dapat disimpulkan beberapa motif. Pertama, siswa memperoleh kunci jawaban beberapa saat memasuki ruang ujian, baik melalui SMS atau melalui catatan kecil. Siswa pun diimbau untuk datang lebih pagi ke sekolah untuk memperoleh kunci-kunci itu.
Kedua, ada indikasi, para guru atau yang terdiri dari ”tim sukses UN” di masing-masing sekolah membantu mengisi lembar jawaban komputer (LJK). Waktu pengisian dilakukan beberapa saat setelah siswa pulang, sebelum LJK disampaikan kepada dinas yang harus tiba pukul 12.00. Waktu yang diperlukan cukup luang. Ada sekitar satu hingga dua jam sehingga memungkinkan jika dimanfaatkan untuk pengisian LJK. Informasi seperti itu sudah beredar di antara para tim sukses UN yang kerapkali dibantah oleh para pengelola pendidikan.
Untuk motif kedua, tentu dirasakan lebih ”aman” ketimbang motif pertama yang lebih konvensional. Ini karena siswa tidak akan berceritera kepada siapapun karena dia merasa mengerjakan sendiri tanpa pihak yang membantu. Sedangkan jika siswa diberi kunci jawaban baik melalui SMS atau melalui guntingan kertas, siswa biasanya tak kuasa menahan kegembiraannya untuk berbicara pada orang lain. Memang beredarnya kunci jawaban juga tidak menjamin sebuah kebenaran. Bahkan bisa jadi, kunci-kunci itu palsu dan sengaja ada yang menyebarkan untuk membuat kekacauan. Akan tetapi, ada guru yang iseng mencocokkan kunci jawaban yang beredar, ternyata isinya banyak yang benar.
Untuk motif LJK siswa dikerjakan tim sukses, penulis baru yakin saat menyaksikan laporan khusus di salah satu televisi swasta dengan program ”kupas tuntas”. Salah seorang guru sebuah SMA di Kabupaten Garut mengaku diajak menyukseskan UN meski secara prinsip dia tidak suka dengan praktik begitu. Caranya, tim sukses mengisi LJK siswa setelah seluruh siswa pulang. Teknisnya –masih dalam laporan itu—tim sukses menyediakan plastik transpran yang sudah diberi bulatan sesuai dengan letak jawaban yang dianggap benar. Saat plastik dirapatkan dengan LJK yang telah dikerjakan siswa, kelihatan mana yang benar dan mana yang salah. Kalau tidak sesuai dengan bulatan hitam di plastik, segera diganti karena itu dipastikan salah. Namun para tim sukses juga sangat hati-hati. Mereka tidak sampai membenarkan jawaban seratus persen. Ini untuk menghindari kecurigaan dan pertanyaan, mengapa seluruh siswa menjawab pertanyaan dengan benar?
Mengapa ada praktik demikian? Lepas dari kontroversi pemberlakuan standar angka kelulusan, diakui atau tidak, angka kelulusan UN layaknya hantu yang menakutkan. Ketakutan bukan saja dirasakan siswa dan orang tua siswa, namun oleh pengelola pendidikan, khususnya yang langsung terkait dengan praktik pengajaran di sekolah. ”Apa kata dunia” jika banyak siswa yang tidak lulus dalam mata pelajaran yang di UN kan. Bukan saja guru mata pelajaran yang menanggung malu, namun kepala sekolah, pejabat terkait, dinas terkait bahkan daerah tertentu. Lebih jauh bila sekolah bersangkutan menyandang predikat favorit atau diembel-embeli standar yang secara kualitas harus lebih baik dari pada sekolah yang biasa-biasa saja. Lebih luas pula, rasa malu akan dirasakan dunia pendidikan secara umum. Mengingat anggaran pendidikan yang digelontorkan oleh negara sudah sedemikian besar.
Ketakutan di atas secara langsung atau tidak bisa meneror psikologis para pengelola pendidikan. Sebab kesuksesan kelulusan siswa dalam UN adalah tanggungjawabannya. Namun sangat disesalkan, bila rasa tanggungjawab itu diaplikasikan dengan cara-cara yang kurang bertanggungjawab.
Tentu, semua ini jangan dikatakan sebuah tuduhan. Karena di pihak lain masih banyak sekolah yang jujur dalam pelaksanaan UN dan tidak menggadaikan kejujuran hanya untuk sebuah angka. Ingat, dunia pendidikan juga layaknya dunia lain yang tidak dijamin steril dari praktik kecurangan. Sehingga saat dirasakan ada ancaman, siapapun bisa terjerumus pada tindakan rendah. Pendidik pun bisa melupakan tugas mulianya memanusiakan manusia itu.
Terima Kenyataan
Untuk meminimalkan kecurangan dalam UN, kuncinya harus betul-betul kembali pada aturan serta memaksimalkan pengawasan dari tim yang kini sudah tersedia. Apalagi, mulai distribusi soal hinggga pelaksanaan UN, keterlibatan aparat, pengawas dan tim idependen porsinya lebih luas lagi. Secara kasat mata mekanisme seperti itu akan mempersempit ruang gerak siapapun yang akan berbuat curang. Namun demikian, perangkat-perangkat itu harus betul-betul jeli menangkap kemungkinan di mana kecurangan itu bakal terjadi.
Lebih penting lagi, harus ada itikad lebih serius dari pengelola pendidikan. Mereka harus berani menerima kenyataan bahkan menanggung malu dari apapun yang menimpa siswanya terkait hasil UN. Seburuk apapun nilai UN, harus dimaknai sebagai konsekuwensi upaya meningkatkan standar pendidikan di tanah air tercinta ini. Tanpa keberanian menerima kenyataan, berapapun standar angka kelulusan UN dipatok oleh negara, bukannya menghasilkan kualitas pendidikan lebih baik, namun sebaliknya, semakin amburadul. Sebab, ekses ambisi untuk mendapat nilai yang lebih bagus itu bisa menyeret para pelaku pendidikan di tingkat pelaksana berbuat curang bahkan bertindak munafik (hipokrit). (*)

Penulis, pengurus Majelis Sinergi Kalam (Masika) ICMI Orda Tasikmalaya.

Artikel Terkait

This Is The Oldest Page


EmoticonEmoticon